Islam dan Budaya Literasi

Mestinya tidaklah terlalu rumit menumbuhkan minat baca dan menulis di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini. Sebab pondasi dari rumah ideologinya berawal dari sana, dari perintah untuk membaca. Iqra'! Demikianlah ayat pertama diturunkan dan kata itu berulang sebanyak dua kali. Pengulangan yang menurut Quraish Shihab merupakan perintah yang tidak ada duanya. Sangat dituntut.

Bila kita rujuk sejarah sebelum ayat tersebut diturunkan maka akan kita jumpai kondisi penduduk Arab yang terpuruk dalam segala aspek kehidupan. Mereka adalah kaum yang menempati tanah (lembah) yang di sebelah Timur dan Baratnya bediri dua kerajaan besar, Persia dan Romawi. Di bawah kuasa dua kerajaan itu jugalah Tanah Arab diperebutkan dan menjadi budak yang dipingpongkan. Sisi lainnya, rumah dari moralitas mereka juga ambruk; saling memerangi, maraknya perzinahan, dominasi orang-orang kaya, dan penyembahan pada berhala yang mereka yakini dapat menyampaikan permintaan mereka pada Allah Ta'ala.

Kalau demikian adanya, kenapa Allah tidak meminta nabi memulai islah (diplomasi) dari setumpuk persoalan tersebut? Mengajak orang-orang Arab bersatu dan bertekad mengakhiri hidup dalam kangkangan Persia dan Romawi. Menegakkan kembali bangunan moralitas, atau mencerca patung-patung berhala yang tidak membawa dampak bagi kehidupan mereka. Tidak. Beliau justeru menerima wahyu yang isinya arahan untuk membaca dan menulis (pada lima ayat pertama juga terekam perintah untuk menulis). Perintah yang bertolak belakang dengan kondisi masyarakat Mekah kala itu.

Di antara makna diturunkannya perintah membaca di awal kenabian adalah; pertama, hanya orang-orang berpengetahuanlah yang menyadari sepenuhnya bahwa mereka berada di bawah tekanan atau kendali bangsa lain. Dan dengan membaca mata dan pikiran mereka akan terbuka melihat resources (sumber daya) yang besar namun tidak kunjung mensejahterakan penduduk pribumi.
Kedua, dengan tumbuhnya kesadaran literasi bisa melihat dengan jelas dampak dari sebuah kerusakan. Ilmu pengetahuan membuat kita tidak hanya bisa melihat dengan dua mata yang menempel di kepala, tetapi justeru mampu untuk meneroka apa yang ada di sebalik dinding, bahkan dinding waktu sekali pun. Dan setiap kali pengetahuan seseorang itu bertambah – kalau ia mau jujur – yang terlihat hanyalah kekuasaan Allah yang kian terkuak. Dan tentunya akan memunculkan kesadaran untuk menyembah hanya kepada-Nya.

Ketiga, tidak ada bangsa yang berada di puncak peradaban ketika budaya literasi mereka punggungi. Kondisi bangsa Arab yang terpuruk itu hanya bisa bangkit dengan bangkitnya minat baca dan tulis di mana-mana. Dan lihatlah beberapa abad kemudian, ketika Islam sedang jaya-jayanya, di berbagai tempat berdiri perpustakaan dengan koleksi yang ribuan judul dan jilid jumlahnya. Pada masa khalifah kelima Bani Abbasiyah, Harun ar-Rasyid (786-803 M) berdirilah Bait al-Hikmah di Baghdad, perpustakaan besar yang koleksinya mencapai 500 ribu judul buku. Di Spanyol terdapat 70 perpustakaan, di antaranya perpustakaan khalifah al-Hakim di Cordova dibangun oleh Abd ar-Rahman, merupakan perpustakaan terbaik dunia Islam waktu itu. Dan di Kairo pada masa khalifah Al-Aziz Billah (975-996 M) dari Dinasti Fatimiyah berdiri juga perpustakaan atas nama dirinya – seorang khalifah yang hobi membaca, sehingga tiap kali ia menemukan buku yang disukai ia selalu meminta untuk digandakan – yang koleksinya mencapai 100 ribu judul buku dengan 600 ribu jilid.
Inilah di antara jawaban kenapa ayat pertama kali itu berbicara tentang pengetahuan (budaya tulis dan baca) karena ternyata ia adalah modal untuk keluar dari keterpurukan dan kemudian mendaki puncak peradaban yang gilang-gemilang.

Lihat misalnya pada masa rasulullah bagaimana beliau mengangkat Zaid bin Tsabit sebagai sekretaris pribadinya, yang di antara tugasnya adalah mencatat tiap kali ayat-ayat Al-Quran diturunkan. Dan beberapa tahun kemudian, pada masa khalifah yang ketiga Utsman bin Affan disepakatilah untuk membukukan Al-Quran tersebut dalam satu mushaf. Sebuah upaya untuk menjaga keorisinilitas kitab suci, yang tentunya juga sudah merupakan jaminan dari Allah Swt.

Pewarisan budaya baca tulis ini terus mengalir di sepanjang sejarah umat Islam hingga berabad kemudian. Setiap kali kita berbincang tentang kecermelangan di sebuah fase sejarah umat ini, maka kita akan selalu menemukan masyarakat yang menekuni literasi di hari-harinya. Ketika Abu Bakar Al-Anbari sakit kritis datanglah tabib untuk mengobati dan memeriksa air seninya, kemudian tabib itu bertanya tentang apa yang ia lakukan, karena dari hasil pemeriksaannya Abu Bakar Al-Anbari sepertinya sudah melakukan sesuatu yang jarang dilakukan orang lain. "Aku" kata Al-Anbari "Telah membaca setiap pekan sebanyak sepuluh ribu lembar."

Lain lagi dengan apa yang diperbuat oleh Ishaq bin Ibrahim Al Muradi seperti yang diceritakan oleh Syaikh Abdul Adim, "Belum pernah saya melihat dan mendengar orang yang lebih banyak kesibukannya melebihi Ishak Al-Muradi. Beliau seringkali terbenam dalam kesibukannya sepanjang siang hingga larut malam. Saya bertetangga dengannya. Rumahku berdiri jauh sebelum rumahnya dibangun. Setiap kali saya terjaga di kesunyian malam, selalu terbias sinar lentera dari dalam rumahnya, dan beliau sedang sibuk dengan pencarian ilmu. Bahkan membaca kitab-kitab itu juga beliau selingi di saat makan."

"Jika ilmu itu adalah binatang buruan, maka ikatlah ia dengan cara menulis," ujar Imam Syafii menggambarkan pentingnya melestarikan budaya yang satu ini."

Dari pembacaan kita terhadap literatur sejarah di batang tubuh umat ini, maka tidak ada jalan lain untuk menuju sebuah kebangkitan, kecuali kesungguh-sungguhan kita menyemarakkan kembali budaya membaca dan menulis umat ini. Berilah tempat untuk buku bisa 'bermanja-manja' di rumah-rumah kita, di sekolah-sekolah, dan tentunya juga di berbagai institusi dan lembaga.
Inilah konsumsi bagi pikiran kita, karena bagi masyarakat yang menempatkan baca tulis sebagai bagian dari hari-harinya adalah indikasi dari peradaban yang merangkak naik. Semoga.

Wamdi Jihadi
#RelawanLiterasi Riau

Sumber: pks.or.id

0 Response to "Islam dan Budaya Literasi"

Posting Komentar